– RONALD STEVLY ONIBALA –
Rohaniawan/Akademisi/Jurnalis/Alumni TOT Taplai Angkatan III 2022 Lemhannas RI
REPORTASEBEKASI.ID – Golongan putih (golput) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu. Di tengah semaraknya demokrasi, golput sering menjadi pilihan bagi sebagian warga negara sebagai bentuk protes atau ketidakpedulian terhadap proses politik. Namun, apakah golput benar-benar solusi yang bijak, ataukah tindakan tersebut justru merupakan pengingkaran terhadap hak dan tanggung jawab warga negara?
Hak Pilih sebagai Manifestasi Demokrasi
Hak pilih adalah salah satu hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Salah satu wujud dari kedudukan tersebut adalah partisipasi dalam pemilu. Melalui pemilu, rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan arah kebijakan negara dan memilih pemimpin yang dianggap mampu mewujudkan aspirasi mereka.
Mengabaikan hak pilih dengan tidak berpartisipasi dalam pemilu berarti membiarkan keputusan berada sepenuhnya di tangan orang lain. Lebih buruk lagi, golput dapat melemahkan legitimasi pemimpin terpilih dan memperkuat pandangan negatif terhadap kualitas demokrasi di suatu negara.
Tanggung Jawab Sebagai Warga Negara
Selain sebagai hak, memilih dalam pemilu juga merupakan tanggung jawab. Setiap suara yang diberikan memiliki dampak nyata terhadap kebijakan publik dan masa depan bangsa. Sikap golput sering kali dianggap sebagai bentuk apatisme atau ketidakpedulian terhadap persoalan bersama.
Warga negara yang tidak menggunakan hak pilih secara tidak langsung turut bertanggung jawab jika terjadi kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dengan tidak berpartisipasi, mereka kehilangan hak moral untuk mengkritik pemerintahan yang lahir dari proses demokrasi yang mereka abaikan.
Golput sebagai Bentuk Protes?
Beberapa orang memilih golput sebagai bentuk protes terhadap kandidat yang dianggap tidak memenuhi harapan atau sistem politik yang dinilai tidak adil. Namun, protes semacam ini kerap kali tidak efektif. Tanpa suara alternatif yang terhitung, protes ini justru dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki agenda terselubung.
Daripada golput, bentuk protes yang lebih konstruktif adalah dengan memberikan suara kepada kandidat yang dianggap paling mendekati harapan atau memilih partai yang memiliki visi dan misi terbaik. Dengan demikian, suara tersebut tetap memiliki nilai dalam mendorong perubahan.
Mengatasi Golput dengan Edukasi Politik
Untuk mengurangi angka golput, edukasi politik menjadi sangat penting. Warga negara perlu diberikan pemahaman bahwa partisipasi dalam pemilu bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral. Media, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat memiliki peran besar dalam menyosialisasikan pentingnya pemilu dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesimpulan
Golput bukanlah solusi yang bijak dalam menghadapi persoalan politik. Sebaliknya, ia merupakan pengingkaran terhadap hak dan tanggung jawab warga negara. Setiap suara yang diberikan dalam pemilu memiliki arti penting bagi kelangsungan demokrasi dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, mari gunakan hak pilih kita dengan bijak untuk masa depan yang lebih baik.
Dengan berpartisipasi aktif dalam pemilu, kita turut mengambil bagian dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Golput hanya akan memperburuk keadaan, sementara suara kita adalah harapan untuk perubahan.